TAQLID DAN TALFIQ
A.
SEKIlAS
TENTANG TAQLID
Orang
NU sering dituduhdan menerima kenyataan bahwa dirinya mengekor kepada imam-imam
mahzab. Dalam istilah fiqh yang demikian disebut “taqlid”. Bahkan ada juga yang
menyebutnya “ittiba”, atau orang yang mengikuti dibelakangnya. Kata taqlid
berasal dari kata qallada yang berarti mengikat atau mengikut. Kemudian dalam
istilah agama dipergunakan dalam arti mengikuti pendapat orang lain yang
diyakini kebenarannya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam
kitab Mu’alim Ushul al Fiqh Inda Ahlisunnah Waljamaah diterangkan, taqlid
menurut pengertian bahasa adalah mengalungkan kalung diatas leher. Kalung
dikenal sebagai benda yang diletakkan diatas leher wanita. Adapun dalam
pengertian itilah, taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain yang merupakan
hasil ijtihad, karena tidak mengerti dalil-dalil atas sebuah persoalan.
Pengertian ini terjadi, pertama, taqlid ialah mengambil pendapat orang lain
atashasil ijtihadnya. Adapun mengambil dali al-Quran, Hadits, dan Ijma’ tidak
dikatakan taqlid, tetapi ittiba
namannya. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapat lain ialah hasil ijtihad dari
seorang imam mujtahid.
Kedua,
taqlid itu terjadi karena tidak mengerti dasar atau dalil dari suatu peristiwa
atau kejadian. Sebab secara umum muqallid (orang yang bertaqlid) ialah orang
bodoh yang tidak mampu dan tidak mempunyai pandangan dalam suatu dalil. Bila
seorang mampu memberikan pandangan yang dapat menunjukkan dasar-dasarnya dengan
cara mengambil pendapat orang lain, serta mampu menjelaskan dengan benar, ini
tidak disebut taqlid, tetapi tarjih dan ikhtiar. Sebaliknya, bila seseorang
mengambil pendapat orang lain tanpa mendasrinya dengan dalil, meskipun ia mampu
mengeluarkan pendapatnya, yang demikian disebut taqlid juga, sebab tidak ada
alasan atas kemampuan hujjahnya itu.
Ketiga,
taqlid itu terbatas pada soal ijtihad, artinya sesuatu yang mubah dalam ijtihad
dari berbagai masalah, maka yang demikian dibolehkan taqlid, namun sesuatu yang
haram dalam ijtihad haram pula ada taqlid didalamnya.
Keempat,
orang yang bertaqlid hendaknya mengikuti imam mujtahid dalam hasil ijtihadnya,
bukan untuk menguatkan, membenarkan, atau menyalahkan. Karena yang namanya
mukallid itu tidak mampu atas hal itu. Yang demikian disebut taqlid yang
mengikutkan, seolah-olah mukallid meletakkan persoalannya kepada seorang
mujtahid, sama halnya sebuah kalung yang dikalungkan diatas lehernya.
Secara
umum menurut sebagian ulama besar ahli fiqh, taqlid itu hukumnya jaiz ((boleh).
Tentu, bagi mereka yang tidak mampu mengemukakan pendapatnyamelalui dalil dan istinbath
hukum. Hukum taqlid terjadi tafsil, perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan
boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh.
Taqlid yang dibolehkan harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.
1. Orang
yang bertaqlid benar benar bodoh, tidak mampu memahami hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya. Ika orang tersebut mampu melakukan ijtihad boleh saja bertaqlid
dengan alasan untuk dibuat perbandingan dalil, sempitnya waktu untuk mengadakan
ijtihad,tidak ada kejelasan dalil terhadap suatu masalah. Bila kelemahan ini
terjadi maka gugurlah bagi dirinya kewajiban ijtihad, dan berganti menjadi
taqlid.
2. Bertaqlid
kepada orang yang diketahui memiliki ilmu ijtihad dan mujtahid dari ahli agama
dan ahli kebajikan.
3. Bagi
mukallid tidak perlu dijelaskan dan ditampakkan dalil atau pendapat lain yang
lebih kuat diluar yang diikutinya. Karena jika mukallid itu mengerti kebenaran
dan memahami dalil-dalil, maka yang demikian tidak diperkenankan bertaqlid,
tetapi wajib mengikuti apa yang diterangkan kebenarannya itu.
4. Materi
taqlid itu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syar’i atau bertentangan
dengan kepentingan umat.
5. Seorang
mukallid tidak boleh menekankan pada mazhab tertentu dalam berbagai masalah,
tetapi berjalan diatas kebenaran, bahkan mengikuti yang lebih dekat dengan
kebenaran dibarengi dengan taqwa kepada Allah SWT sesuai dengan kemampuannya.
Bagi mukallid diharapkan ada perbandingan hukum untuk tidak berpindah-pindah
mazhab. Karena dikhawatirkan mereka hanya mengikuti yang mudah dan
gampang-gampang saja bagi dirinya, dan cenderung untuk lebih mengikuti hawa
nafsunya semata.
Adapun taqlid yang tercela dan
dilarang, diantaranya:
1. Bertentangan
dengan al-Quran dan al-Hadits, atau mengikuti ajaran nenek moyang mereka.
2. Bertaqlid
kepada orang yang tidak mengerti kondisi orang yang bertaqlid.
3. Taqlid
terhadap pendapat yang bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
4. Taqlid
tidak boleh setelah ada ketegasan yang benar dan mengetahui dalil-dalilnya.
5. Taqlidnya
seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihaddengan keluasan waktu, meskipun
tidak ada kebutuhan
6. Taqlidnya
seorang mujtahid yang nyata kebenaran semua hasil ijtihadnya.
Adapun yang dimaksud
dengan taqlid dalam pembahasan ini adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walupun
mengetahui keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.
Menurut KH. Bisri
Musthofa, taqlid ialah berpegang dan atau mengamalkan keterangan mujtahid tanpa
harus mengetahui dalil-dalilnya. Orang bertaqlid tidak perlu mengucapkan iqrar
“saya bertaqlid kepada imam syafi’i , tetapi cukup orang itu merasa bahwa
amaliahnya sesuai dengan amaliah dan pendapat imam mujtahid yang di taqlidinya.
Taqlid itu hukumnya
haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid
(‘awam).Dengan demikian yang bertaqlid itu hanya orang awam saja, orang-orang
alim pun juga mqallid kepada imam
mujtahid sepanjang dirinya tidak dalam derajat mujtahid. Mereka tetap wajib
bertaqlid, sebab pengetahuan mereka terbatas pada dalil yang digunakan, tidak
sampai pada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan hukum.
Taqlid itu dibagi
menjadi dua, ada taqlid a’ma (buta)
yang menerima pendapat mentah-mentah, ada pula yang disebut taqlid ‘alim ghairu mujtahidin, orang
pandai tapi belum sampai pada tingkatan mujtahid. Mengikuti pendapat para imam
mujtahid itu lebih baik dari pada memaksakan diri untuk berijtihad, padahal
mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Taqlid adalah sesuatu yang
harus dilakukan bagi setiap orang Islam yang bukan mujtahid. Seperti bersedekap
dalam salat, dan mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, adalah
perbuatan yang sudah tentu dilakukan walaupun masih belum mengetahui dan
meneliti dalilnya, apakah shahih atau tidak.
Bertaqlid itu bagaikan
seorang dokter yang mengambil obat untuk diberikan kepada pasiennya. Tentu dia
akan mengambil obat tersebut dari apotik atau tempat/perusahan obat harus
meneliti dan membuat obat itu lebih dulu. Demikian juga guru geografi misalnya,
dia menerangkan kepada muridnya bahwa bumi ini bundar mengikuti teori Galilio
Galilie dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri, demikian
seterusnya.
Taqlid merupakan
sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Namun
demikian bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta. Karena
hal ini akan menggambarkan keterbelakangan dan kejumudan serta rendahnya
kualitas individu umat islam. Umat islam tetap diperintah untuk keluar dari
kemiskinan dan kebodohan, sehingga hidupnya tidak erbelenggu dengan keterbelakangan.
Disinilah pentingnya pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan islam lainnya
digalakkan dan diembangkan. Terhadap persoalan taqlid ini warga NU diharapkan :
1. Tetap
mengikuti pendapat atau amaliah para Imam Mujtahid sepanjang dirinya belum
sampai pada derajat .
2. Bila
tergolong awam, ia harus bertaqlid untuk menghindari dari kesalaha, kesesatan
dalam beribadah dan bermuamalah.
3. Jika
mampu selalu berusaha untuk mengetahui dalil dan petunjuk dari sebuah
kekakuan/perbuatan ibadah yang dilakukan sehari-hari.
4. Bertaqlid
kepada imam mujtahid, atau para ulama yang mumpuni keilmuannya. Minimal kepada
seorang kiai yang tidak diragukan keilmuannya di tengah masyarakat.
B.
MASALAH
TALFIQ
Dalam persoala
mazhab sering kita temui istilah talfiq. Secara bahasa talfiq berarti melipat.
Namun yang dimaksud disini talfiq adalah mencampuradukkan pendapat seorang Imam
Mujtahid/Ulama lain dalam satu qadiyah (masalah),baik sebagian maupun secara
keseluruhan.
Contoh perbuatan talfiq ialah
seseorang yang sedang berwudhu menggunakan mazhab Imam Syafi’i, dengan mengusap
sebagian kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan mahramnya) lalu dia langsung
mengikuti mazhab Imam Hanbali yang menyatakan menyentuh kulit wanita ajnabiyah
tidak membatalkan wudhu. Inilah perbuatan talfiq namanya, karena telah terjadi
penggabungan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Hanbali dalam satu masalah,
yakni perbuatan wudhu.
Talfiq seperti contoh diatas
dilarang oleh agama, karena dimungkinkan terjadinya plin-plannya hukum atau
yang disebut tatabu al-rukhshah (mencari yang gampang-gampang), tidak
memanjakan umat islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja. Sehingga
terhindar dari tala’ub (main-main) dalam hukum agama.
Talfiq ini sangat berbeda dengan
tanaqul (berpindah-pindah mazhab) atas dasar mudarat atau masyarqah syar’i,
misalnya karena sangat susah untuk menjaga kesucian wudhu ketika melakukan
thawaf di Masjidil Haram yang menurut Imam Syafi’i, menyentuh kulit perempuan
membatalkan wudhu, maka seseorang dibolehkan tanaqul menggunakan mazhab Hanafi
menyenuk kulit perempuan tidak membatalkan wudhu. Untuk tanaqul ini dibutuhkan
adanya penetapan hukum dengan memilih salah satu mazhab dari madzahibul arba’ah
yang relevan dengan kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya, seperti di
Indonesia. Sebab, diakui atau tidak kondisi masyarakat indonesia mempunyai ciri
khas tersendiri. Dan hukum itu tetap orientasinya menjaga kemaslahatan umatnya
yakni: hifdu al-din (menjaga agama), hifdu al-‘aql (menjaga akal), hifdu
al-nafs (menjaga jiwa), hifdu al-nasl (menjaga keturunan), hifdu al-mal
(menjaga harta), dan hifdu al-‘aradl (menjaga kehormatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar